K.H. Faried F. Saenong, M.A., M.Sc., Ph.D.
Manhajuna.id- DALAM 100 tahun terakhir, Islam dan berbagai aspeknya telah menjadi salah satu klaster penting dalam industri akademik di Timur dan di Barat. Berawal dari orientalisme, Islamic studies, hingga berbagai kajian sosial atas Islam, industri ini terus berkembang pesat, lebih bergairah lagi setelah peristiwa 9/11.
Mushaf Al-Qur’an dan terjemahannya, bahkan menjadi best seller nomor satu di Amerika sejak penghancuran gedung kembar WTC di New York itu. Perkembangan industri ini nyaris merata di berbagai disiplin ilmu terkait seperti teologi, sains, ilmu sosial dan humaniora, filsafat, politik, hingga IT.
Anthropology of Islam
Menariknya, para antropolog baru menggeluti Islam sejak paruh kedua abad XX. Sebelum Geertz menulis Islam Observed (1968), Islam dan masyarakat muslim sepertinya tidak menarik sebagaimana ketertarikan mereka kepada masyarakat pribumi di Australia, Amerika Selatan, dan Afrika.
Masyarakat muslim adalah tema yang asing bagi antropolog-antropolog abad XVIII dan XIX, seperti Malinowski, Radcliffe-Brown, Levi-Strauss, Linton, dan lainnya. Evans-Pritchard di antaranya kebetulan menulis The Sanusi of Cyrenaica (1949). Itu pun karena sedang bertugas sebagai pegawai pemerintah Inggris di Afrika Utara ketika itu.
Setelah Islam Observed-nya Geertz (1968), beberapa antropolog kemudian menjadikan masyarakat muslim di kampung-kampung dan perdesaan. Sebutlah misalnya Bujra (1971) di Yaman, Gilsenan (1973) di Mesir, Crapanzano (1973) di Maroko, El-Zein (1974) di Mesir, atau Eickelman (1976) di Maroko.
Karya-karya itu merupakan produk antropologi autentik yang mengkaji masyarakat muslim, tanpa mempertimbangkan teologi masyarakat tersebut. Merekalah yang kemudian menjadi medan magnet bagi antropolog generasi berikutnya, dengan masyarakat muslim baik di wilayah rural maupun urban sebagai tema dan proyek riset mereka. Dalam dunia akademik Barat, pola dan kecenderungan riset ini lebih dikenal dengan mata kuliah atau sebutan anthropology of Islam.
Islamic anthropology
Perkembangan menarik ini ternyata membuat khawatir para antropolog muslim yang terasosiasi dalam gerakan Islamiyyat al-Ma‘rifah (Islamisasi Pengetahuan) yang bermarkas di International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Virginia sejak 1980-an.
Sejalan dengan misi Islamisasi Pengetahuan, kekhawatiran mereka berawal dari kemungkinan kesimpulan yang dirumuskan para antropolog, yang bisa saja menggambarkan bahwa semua praktik dan tradisi umat Islam telah mencerminkan Islam itu sendiri.
Pendukung Islamisasi Pengetahuan tidak menginginkan itu. Mereka menginginkan agar para antropolog, khususnya yang muslim, dapat mengambil bagian dalam mengubah masyarakat menjadi islami atau lebih islami.
Sebelumnya, para penggagas telah merumuskan Islamic Sociology (Ba-Yunus 1988), Islamic Psychology (al-Hashimi 1981), Islamic Economics (Khan 1994), atau bahkan Islamic Journalism (al-Barzinji 1998).
Singkat cerita, Ahmed bersama beberapa koleganya di IIIT kemudian bertugas merumuskan model antropologi yang syar‘i dan islami. Mereka kemudian menggunakan nomenklatur Islamic Anthropology untuk memuluskan gagasannya.
Kata sifat islamic mengandaikan bentuk antropologi yang telah ‘bersyahadat’ sehingga pasti berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Toward Islamic Anthropology (Ahmed 1986), sebuah buku kecil, tiba-tiba menjadi manual bagi antropolog-antropolog muslim lainnya yang terasosiasi dengan gerakan Islamiyyat al-Ma‘rifah ini.
Dalam manual tersebut, Ahmed mengajukan kritik atas kondisi antropologi kala itu yang menurutnya mengalami stagnasi teoretis yang akut. Menurutnya, para antropolog nyaris tidak menemukan tema baru kecuali yang selama ini dipelajari secara konvensional, seperti struktur sosial, hubungan kekerabatan (kinship), keyakinan dan sihir, atau proses perubahan sosial.
Bagi kalangan Islamic Anthropology, meneliti masyarakat muslim mengharuskan mereka memahami teologi Islam yang benar dan kemudian turut mengkritik masyarakat muslim yang dikaji; bahwa tradisi atau praktik hidup mereka tidak islami dan mesti diperbaiki.
Untuk memperkuat basis kultural dan historis gerakan ini, Ahmed kemudian menegaskan bahwa antropologi dalam Islam sudah lama eksis, jauh sebelum hadirnya para antropolog di abad XVIII dan XIX. Ahmed kemudian melegitimasi gerakan ini dengan mengutip beberapa figur penting Islam seperti Ibn Khaldun (1332-1406), Ibn Batuta (1304-1377), al-Mas’udi (896-956), atau al-Biruni (973-1048). Yang terakhir ini bahkan sangat terkenal di dunia Barat karena menulis kitab al-Hind yang merupakan karya etnografis atas India yang sangat lengkap.
Bagi Ahmed, mereka ini dapat dikategorikan sebagai the founding fathers of Islamic Anthropology. Ini tentu berbeda dengan sejarah antropologi yang diajarkan di bangku kuliah umumnya.
Tidak hanya itu, kalangan Islamic Anthropology juga memanfaatkan teori antropologi modern untuk memperkuat epistemologi Islamic Anthropology. Dikotomi Little and Great Traditions dari Redfield (1956) yang mengandaikan adanya tradisi dan praktik masyarakat beragama di berbagai pelosok dunia yang berbeda (little tradition) dengan kehidupan umat yang sama di tempat lahirnya agama itu atau yang berada di kota-kota (great tradition).
Dikotomi ini kemudian mereka pahami sedemikian rupa untuk berkesimpulan bahwa ada tradisi dan dan praktik beragama yang menyimpang. Pun, kalangan Islamic Anthropology mengadopsi discursive tradition dari Asad (1986), yang dianggap mengandaikan bahwa umat Islam pasti ingin mendasari semua praktik dan tradisinya berdasarkan pemahaman dari teks-teks agama.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa kalangan Islamic Anthropology menginginkan dan memiliki imajinasi tentang model masyarakat muslim yang ideal berdasarkan Al-Qur’an dan hadis sebelum melakukan fieldwork. Jika sedang meneliti atau melakukan etnografi, perspektif ini semestinya memengaruhi cara pandangnya memahami sekaligus ‘mengoreksi’ tradisi dan praktik yang hidup dalam sebuah masyarakat muslim yang dinilai bertentangan dengan Islam.
Anthropology of muslim society
Ini tentu saja berbeda dengan fieldwork dan etnografi dalam antropologi konvensional. Antropologi sejatinya meneliti dan memahami masyarakat sebagaimana yang diyakini oleh pemilik tradisi dan praktik tersebut. Singkatnya, antropologi mengkaji what they say about what they believe and do. Dalam cara pandang inilah, seorang antropolog datang ke area fieldwork dan melakukan etnografi tanpa ada ‘prasangka’.
Mereka datang, mendengar, dan mencoba memahami, menangkap, dan merasakan tradisi, serta praktik masyarakat serta nilai-nilainya, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Ketika ingin memahami sejarah sebuah masyarakat, misalnya, maka model ethno-history atau anthropological history menjadi pilihan yang tepat. Seorang etnografer tidak mesti mencari fakta historis, tetapi sejatinya datang dan mendengar apa yang mereka katakan tentang sejarah mereka sendiri. Persepsi masyarakat tentang sejarahnya sendiri tentu telah menciptakan nilai sekaligus praktik yang hidup dalam masyarakat tersebut secara turun-temurun.
Jika ingin menggunakan dikotomi Redfield tentang little and great traditions, perbedaan itu dapat dipahami sebagai khazanah tanpa melibatkan prasangka. Pun, ketika ingin menggunakan discursive tradition ala Asad, maka diskursus teks itu hanya digunakan untuk memahami basis epistemologis dan teologis sebuah praktik dan tradisi beragama.
Masyarakat yang diteliti mesti dipandang sebagai human agents sekaligus masyarakat yang memiliki agency dan otoritas untuk menentukan sendiri tradisi dan pilihan keyakinannya.
Perspektif konvensional sekaligus modern seperti inilah yang mesti dikembangkan dalam meneliti masyarakat muslim di seluruh dunia. Model seperti ini akan menghindarkan antropolog dan etnografer dari value judgement yang tidak perlu.
Tradisi dan praktik masyarakat muslim yang sudah panjang dan hidup di suatu wilayah sebenarnya merupakan hasil renungan panjang atas berbagai proses memahami, adopsi, seleksi, penyesuaian, dan embodiment oleh unsur-unsur elite budaya dan agama.
Di titik ini, antropolog yang hidup dan besar dalam tradisi Nahdliyin akan lebih mampu menjalankan perannya sebagai etnografer dan teolog, yang menghargai semua tradisi keagamaan di wilayah mana pun. Semua ini ingin penulis sebut dengan istilah Anthropology of Muslim Society.
K.H. Faried F. Saenong,M.A., M.Sc., Ph.D., Pengurus PCI NU Australia-Selandia Baru, Pengasuh PP Ash-Shalihin, Samata-Gowa, dan Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI). Saat ini sebagai Kabid Diklat Badan Pengelola Masjid Istiqlal, dan sejak September 2022 sebagai Pembina Yayasan Manhajuna Madania Salam (Yamandala), Kota Tangerang Banten
—
Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/408051/antropologi-masyarakat-muslim