Mengurai Makna, Tahap dan Tujuan Nuzulul Quran
Oleh: Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.
Di bulan Ramadan ini, umat Islam memperingati Nuzulul Quran, umumnya pada tanggal 17 Ramadan. Apa sejatinya makna Nuzulul Quran? Makna Nuzulul Quran ini dijelaskan, misalnya, oleh Syekh ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqânî dalam kitabnya Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004, Juz I, hlm. 29-40). Kata Nuzûl dalam penggunaan etimologis (kebahasaan) diartikan dan dimaksudkan sebagai proses menuju dan menempati suatu tempat, misalnya perkataan orang-orang Arab: “nazala al-amîru al-Madînata” (Sang Gubernur singgah di Madinah). Bentuk transitif (kata kerja)nya adalah kata al-inzâl, bermakna proses menunjukkan dan menempatkan sesuatu ke suatu tempat, misalnya terdapat dalam QS al-Mukminûn ayat 29. Kemudian kata nuzûl secara kebahasaan juga diartikan turunnya sesuatu dari atas ke bawah, misalnya ungkapan: “nazala fulânun min al-jabali” (seseorang turun dari gunung). Adapun bentuk transitifnya nuzûl berarti menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah, misalnya dipakai dalam QS al-Baqarah (2) ayat 22.
Kedua makna nuzûl/inzâl tersebut tidak layak diterapkan untuk penurunan Allah SWT terhadap Al-Qur’an atau turunnya Al-Qur’an dari Allah SWT. Hal ini karena kedua makna tersebut memastikan adanya suatu tempat dan benda, padahal Al-Qur’an bukanlah benda, sehingga bisa menempati suatu tempat atau turun dari atas ke bawah, baik yang kita maksudkan dengan Al-Qur’an adalah sifat qadim (terdahulu, tidak berawal) yang berkaitan dengan kata-kata yang bersifat gaib lagi azali (terdahulu) atau sebagai kata-kata itu sendiri, ataupun lafaz yang mengandung i‘jâz (kemukjizatan).
Jadi, kata nuzûl/inzâl itu harus dimaknai menurut arti majâz (metaforis, kiasan, perumpamaan). Karena itu, hendaknya makna majazi (kiasan) bagi nuzûl al-Qur’an adalah i‘lâm, yakni pemberitahuan pada segala pengertiannya. Adapun berdasarkan pengertian bahwa Al-Qur’an adalah sifat yang qadim (terdahulu) atau yang terkait dengannya, maka yang dimaksud dengan arti “menurunkannya” adalah memberitahukannya dengan goresan-goresan yang dapat menunjukkannya, dikaitkan dengan penurunannya di Lauh al-Mahfûdz (Lauhul Mahfudz), dan di Bait al-‘Izzah (Baitul ‘Izzah) di langit dunia, dan karena kata-kata hakiki yang menunjukkannya dikaitkan dengan penurunannya ke dalam hati Nabi SAW. Di samping itu, bisa pula arti majaz yang diterapkan adalah al-isti‘ârah al-tashrîhiyyah al-ashliyyah, yakni pemberitahuan Tuhan kepada hamba-Nya dengan penurunan sesuatu dari atas ke bawah, dengan kesamaan alasan: masing-masing unsur tasybih (penyerupaan) itu muncul dari atas ke arah bawah.
Pilihan kata al-inzâl dan kata-kata bentukannya menegaskan kemuliaan Kitab Al-Qur’an, mengingat apa yang diisyaratkan oleh kata al-inzâl, yaitu ketinggian Pemilik Kitab itu. Ini sejalan dengan firman-Nya (QS. al-Zukhrûf [43]: 1-4). Selanjutnya, kata inzâl itu ditakwilkan (ditafsirkan) maknanya dengan kata i‘lâm (pemberitahuan), merupakan yang paling dekat dan paling sejalan dengan konteksnya. Hal ini didasarkan pada tiga alasan: pertama, kalâm berkaitan dengan makna dan memahaminya. Kedua, dimaksudkan untuk kukuhnya Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz dan Langit Dunia serta di Hati Nabi SAW, sebagai pemberitahuan terhadap makhluk yang ada di dua alam (alam atas dan alam bawah), suatu kebenaran yang hendak ditunjukkan Allah Taala. Ketiga, penafsiran “inzâl” (“menurunkan”) dengan “i‘lâm” (“memberitahukan”) sejalan dengan Al-Quran dalam berbagai pengertiannya dan tahap penurunannya (tiga tahap).
Tahap Nuzulul Quran
Al-Qur’an diturunkan dalam tiga tahap, yang tahap ini dimaksudkan sebagai bentuk pemuliaan Al-Qur’an. Nuzulul Qur’an dalam tahap pertama (al-tanazzul al-awwal), pertama kali diturunkan secara global (keseluruhan) ke Lauhul Mahfudz, sebagaimana tersebut dalam QS. al-Burûj [85]: 21-22. Hikmah Nuzulul Quran pada tahap ini kembali kepada hikmah yang tinggi dari wujud Lauhul Mahfudz itu sendiri dan keberadaannya sebagai media yang mencakup semua yang menjadi qadar dan qadha Allah SWT, alam-alam yang telah dan akan wujud. Ia menjadi saksi logis dan manifestasi (perwujudan) terjelas yang mengindikasikan keagungan, ilmu, irâdah (kehendak), kebijaksanaan, luasnya kekuasaan dan qudrah (kemampuan)-Nya. Beriman kepada Lauhul Mahfudz ini dapat menguatkan keimanan seseorang kepada Tuhan dari aspek-aspek tersebut, menumbuhkan ketenangan dalam jiwa, percaya kepada semua yang diterapkan Allah Taala kepada makhluk-Nya, berupa hidayah, syariat, kitab-kitab dan segala jenis persoalan kepada hamba-Nya, di samping mendorong manusia untuk tenang dan lega terhadap qadar dan qadha. Dengan ini, manusia akan merasa ringan dalam menjalani dinamika kehidupan. Beriman kepada Lauhul Mahfudz dan suatu kepastian di sana berpengaruh positif bagi kesinambungan seseorang dalam berbuat baik dan melakukan seluruh ketaatan yang diridhai Allah SWT dengan maksimal, serta menjauhi segala bentuk kedurhakaan yang membuatNya murka, karena menyakini bahwa semua itu telah tertulis di sisi-Nya dalam Lauh-Nya, terhimpun di dalam Kitab-Nya (QS. al-Qamar [39]: 35).
Nuzulul Quran dalam tahap kedua (al-tanazzul al-tsânî), yaitu Al-Qur’an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah di Langit Dunia secara keseluruhan (jumlah wâhidah) pada malam Lailatul Qadar. Tahap ini didasarkan QS. al-Dukhân ayat 3, al-Qadar ayat 1 dan al-Baqarah ayat 185. Ketiga ayat tersebut menunjukkan Al-Qur’an diturunkan pada satu malam secara keseluruhan (jumlah wâhidah/daf‘ah wâhidah), yang disifati sebagai lailah mubarakah (malam yang diberkati), sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Dukhân, dan disebut Lailatul Qadar, sebagaimana tersebut dalam QS. al-Qadar, serta terjadi pada malam Ramadan, sebagaimana tersebut dalam QS. al-Baqarah.
Nuzulul Quran dalam tahap ketiga (al-tanazzul al-tsâlits), yaitu Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril, secara bertahap (nujûman nujûman/munajjaman) selama kurang lebih 23 (dua puluh tiga) tahun. Nuzulul Quran dalam tahap yang ketiga ini tersebar sinar di dunia dan hidayah Allah SWT sampai kepada makhluk (QS al-Syu‘arâ’ [26]: 193-195, dan QS. al-Isrâ’ [17]: 106). Hikmah Nuzulul Quran dalam ini antara lain untuk menabahkan dan menguatkan hati Nabi SAW, untuk mendidik umat, dan sebagai respon (jawaban) atas setiap peristiwa dan kejadian.
Nuzulul Quran dalam tahap ini, dalam arti permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW (bad’ al-wahy), terjadi pada hari Senin tanggal 17 (tujuh belas) Ramadan –pra-hijrah. Ini merupakan riwayat al-Wâqidî bersumber dari Abû Ja‘far al-Bâqir, sebagaimana disitir Ibn Katsir dalam kitab al-Bidâyah wa-al-Nihâyah, tahqîq Ahmad Jâd, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006, Jilid II, Juz 3, hlm. 52).
Tujuan Nuzulul Quran
Kehadiran Al-Qur’an (Nuzulul Quran) menjelaskan tujuan pokok diturunkannya, sebagaimana dikemukakan Syekh Muhammad al-Thâhir ibn ‘Âsyûr dalam kitabnya Tafsîr al-Tahrîr wa-al-Tanwîr (Tunis: al-Dâr al-Tûnisiyyah li-al-Nasyr, 1984, Juz I, hlm. 40-41), ada delapan tujuan, yaitu untuk: (1) Memperbaiki akidah (keyakinan) dan mengajarkan akad (transaksi) yang benar (ishlâh al-i‘tiqâd wa-ta‘lîm al-‘aqd al-shahîh), yang menjadi sebab (faktor) terbesar untuk memperbaiki manusia; (2) Membersihkan akhlak (tahdzîb al-akhlâq); (3) Menetapkan hukum khusus (privat) dan umum (publik) (tasyrî‘ al-ahkâm khâshshatan wa-‘âmmatan); (4) Mengatur manusia (siyâsat al-ummah), merupakan bab yang besar dalam Al-Qur’an, di antara tujuannya untuk memperbaiki umat dan menjaga ketertibannya (shalâh al-ummah wa-tanzhîmuhâ); (5) Menunjukkan berbagai kisah dan berita tentang umat terdahulu, agar dijadikan pelajaran untuk memperbaiki kondisi manusia; (6) Menjadi pengajaran tentang sesuatu (ajaran) yang selaras dengan era audiens dan agar dapat diterima dan disebarkan; (7) Menjadi petuah, peringatan, ancaman dan kabar gembira, merupakan bab memotivasi (penyemangat) dan menakut-nakuti (al-targhîb wa-al-tarhîb); dan (8) Menjadi mukjizat sebagai dalil (bukti) kebenaran rasul. Wallâhu a‘lam…
Semoga kita memperoleh petunjuk dan syafaat (pertolongan) Al-Qur’an Al-Karim, bagi kebahagiaan dan keselamatan kita di dunia dan akhirat. Amiin… [*]
Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.
Pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam, Dosen Tetap Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta, Pengurus Harian LPBKI MUI Pusat, Kolomnis dan Pemateri Keislaman Tiga Benua (Asia, Afrika, dan Eropa)
*]Tulisan pertama kali dimuat di Buletin Jumat Laduni.id, Edisi Ramadan, No. 51, Jumat, 16 Ramadan 1444 H/7 April 2023 M.