Close

Keputusan Muktamar NU ke-20 Tahun 1954 tentang Mengumumkan Awal Ramadan/Syawal untuk Umum dengan Berdasarkan Hisab

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-20‎, Di Surabaya Pada Tanggal 1015 Muharram 1374 H/8-13 ‎September 1954

‎(278) Tentang Mengumumkan Awal Ramadan/Syawal untuk Umum dengan Berdasarkan ‎Hisab

S. Bagaimana hukumnya mengumumkan awal Ramadhan atau awal Syawal untuk umum dengan ‎hisab atau orang yang mempercayai sebelum ada penetapan hakim atau siaran dari Departemen ‎Agama? Boleh ataukah tidak? (NU Cab. Banyuwangi)‎

J. Sesungguhnya mengkabarkan tetapnya awal Ramadhan atau awal Syawal dengan hisab ‎itu tidak terdapat di waktu Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Sedang pertama-tama orang yang ‎memperbolehkan puasa dengan hisab ialah: Imam Muththarif, guru Imam Bukhari. Adapun ‎mengumumkan tetapnya awal Ramadhan atau Syawal berdasarkan hisab sebelum ada ‎penetapan/siaran dari Departemen Agama, maka Muktamar memutuskan tidak boleh, ‎sebab untuk menolak kegoncangan dalam kalangan umat Islam, dan Muktamar mengharap ‎kepada pemerintah supaya melarangnya.‎

Keterangan, dalam kitab:‎
‎1. Al-Bughyah al-Mustarsyidin

‏ (مَسْأَلَةُ ك) لَا يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مْنَ الشُّهُورِ إِلَّا بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلَاثِيْنَ بِلَا فَارِقٍ إِلَّا فِي كَوْنِ ‏دُخُولِهِ بِعَدْلٍ وَاحِدٍ‎

(Kasus dari Sulaiman al-Kurdi) Bulan Ramadhan, sebagaimana bulan-bulan lain, tidak bisa ditetapkan ‎kecuali dengan ru’yah atau menyempurnakan 30 hari tanpa perbedaan, kecuali masuknya ‎Ramadhan yang bisa ditetapkan dengan satu orang adil. (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, ‎‎Mesir: Musthafa al-Halabi, 1952, h. 108.)‎

‎2. Al-Bughyah al-Mustarsyidin

‏ (مَسْأَلَةُ ي ك) يَجُوزُ لِلْمُنْجِمِ وَهُوَ مَنْ يَرَى أَنَّ أَوَّلَ الشَّهْرِ طُلُوعُ النَّجْمِ الْفُلَانِي وَالْحَاسِبُ وَهُوَ مَنْ يَعْتَمِدُ مَنَازِلَ ‏الْقَمَرِ وَتَقْدِيرَ سَيْرِهِ الْعَمَلُ بِمُقْتَضَى ذلِكَ لَكِنْ لَا يُجْزِيهِمَا عَنْ رَمَضَانَ لَوْ ثَبَتَ كَوْنُهُ مِنْهُ بَلْ يَجُوزُ لَهُمَا الْإِقْدَامُ ‏فَقَطْ … نَعَمْ إِنْ عَارَضَ الْحِسَابَ الرُّؤْيَةُ فَالْعَمَلُ عَلَيْهَا لَا عَلَيْهِ عَلَى كُلِّ قَوْلٍ

‎(Kasus dari Abdullah bin Umar al-‘Alawi al-Hadhrami dan Muhammad Sulaiman al-Kurdi) ‎Munjim, yaitu orang yang berpendapat bahwa permulaan bulan adalah –dengan munculnya ‎bintang tertentu, dan Ahli Hisab, yaitu orang yang berpedoman pada tempat perputaran bulan dan kadar ‎perputarannya, boleh mengamalkan pedomannya tersebut. Namun, andaikan terbukti hari yang mereka ‎puasai itu adalah hari Ramadhan, puasa mereka ‎‏-‏tetap- tidak mencukupi dari puasa Ramadhan. Mereka itu ‎hanya diperbolehkan berpuasa -saja- … Meskipun begitu, bila hisab bertentangan dengan ru’yah, ‎maka yang diamalkan adalah ru’yah, bukan hisab menurut pendapat manapun. (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah ‎al-Mustarsyidin, Mesir: Musthafa al-Halabi, 1952, h. 110.)‎

‎2. Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah

وَحِينَئِذٍ يُسْتَفَادُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ الْعِبْرَةَ بِعَقِيدَةِ الْحَاكِمِ مُطْلَقًا فَمَتَى أَثْبَتَ الْهِلَالَ حَاكِمٌ يَرَاهُ وَلَا يُنْقَضُ حُكْمُهُ ‏بِأَنْ لَمْ يُخَالِفْ نَصَّا صَرِيحًا لَا يَقْبَلُ التَّأْوِيلَ اُعْتُدَّ بِحُكْمِه

Dan dari bukti-bukti pendapat ulama tersebut bisa disimpulkan, bahwa yang menjadi ‎pedoman adalah keyakinan hakim secara mutlak. Oleh sebab itu, ketika hakim yang melihat hilal sudah ‎menetapkannya dan keputusan hukumnya tidak terbantah, sebab berlawanan dengan nash sharih ‎yang tidak mungkin dita’wil, maka keputusan hukumnya dibenarkan. (Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-‎Fiqhiyah al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H, Jilid II, h. 81.)‎

Dari grup WA (grup Keislaman NU Online)
———

Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-20, di Surabaya, pada tanggal 10-15 Muharram 1374 H/8-13 September 1954 M terkait ketidak bolehan Mengumumkan Awal Ramadan/Syawal untuk Umum dengan Berdasarkan Hisab, sebelum ada penetapan/siaran dari Departemen Agama (Depag, saat ini Kemenag), sungguh sangat maju.

Keputusan Muktamar NU ke-20 tahun 1954 itu di bawah kepemimpinan Rais Aam PBNU ke-2, KH Abdul Wahab Hasbullah (pendiri NU dan Pahlawan Nasional, lahir Jombang Jatim, 31 Maret 1888, wafat Jombang Jatim, 29 Desember 1971, –masa khidmat 1947-1971) dan Ketua Umum PBNU ke-6 (1954-1956) saat itu, pasca kepemimpinan KH Abdul Wahid Hasyim, KH Muhammad Dahlan (lahir Solo, 2 Juni 1909, wafat Jakarta, 7 Februari 1977)

Al-Faqir Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A. (S1 Syariah skripsi ttg talfiq manhaji -Ushul Fikih; S2 Syariah tesis ttg Ushul Fikih perbandingan Suni 4 mazhab; S3 Syariah, pengkajian Islam keahlian Syariah dan Ushul Fikih Perbandingan Lintas Mazhab [Syiah-Suni], semakin belajar
semakin merasa bodoh (tidak banyak mengetahui luasnya pengetahuan dan ilmu)

Hadânallâhu waiyyâkum ajma’în.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0 Comments
scroll to top