Puasa, Zakat dan Ajaran Takwa
Oleh: Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.
Puasa Ramadan dan zakat ini sangat berkaitan erat. Minimal ada dua argumentasi untuk ini. Pertama, keduanya adalah ibadah fardu, diperintahkan atas orang Islam, yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Jika esensi puasa itu untuk meninggalkan perkataan dan perbuatan yang keji/maksiat (qaul al-zûr wal fakhsyâ’), maka zakat fitrah dimaksudkan untuk membersihan/mensucikan diri kita orang-orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan yang tidak berfaidah (al-laghwi) dan perkataan yang sangat kotor (al-rafatsi). Di samping juga zakat fitrah dimaksudkan untuk mengenyangkan orang-orang yang miskin, yakni menjadikan mereka merasakan kegembiraan dengan terpenuhi kebutuhan pokoknya, sandang, pangan, dan papan, pada hari raya Idul Fitri. Demikian sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ…
Artinya: “Dari Ibn ‘Abbâs radhiyyallahu ‘anhumâ, “Rasulullah SAW telah menfardukan zakat fitrah untuk membersihkan/mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya, dan dari perkataan yang sangat kotor; di samping juga untuk mengenyangkan orang-orang miskin, yakni menjadikan mereka merasakan kegembiraan dengan terpenuhi kebutuhan pokoknya, sandang, pangan, dan papan, pada hari raya Idul Fitri….” Al-Hadis (HR Abû Dâwud nomor 1609, Ibn Mâjah, nomor 1827 dan al-Dâruquthnî)
Argumentasi yang kedua, tujuan puasa dan zakat diwajibkan kepada kita orang-orang Islam adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Kewajiban berpuasa dan tujuannya, agar menjadi orang-orang yang bertakwa itu didasarkan pada Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183.
Ciri-ciri Orang yang Bertakwa
Mengenai ciri-ciri orang yang bertakwa ini secara lebih rinci dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177:
لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ.
Artinya: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 177)
Ayat di atas menyebutkan ciri-ciri orang yang bertakwa, sebagai berikut: Pertama, beriman: iman kepada Allah, hari akhir, para Malaikat, kitab suci dan para Nabi. (Ini adalah aspek/dimensi batiniyyah, immaterial-personal).
Kedua, beramal sosial, memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang meminta-minta, dll. (Ini dimensi material-sosial).
Ketiga, mendirikan salat dan menunaikan zakat (Ini aspek psikofisiologis, yakni berkaitan dengan aspek jiwa dan badan/zahir; secara bersamaan memuat hubungan vertikal kepada Tuhan [hablum minallâh] dan hubungan horizontal, hubungan baik dengan sesama manusia/makhluk [hablum minan nâs]; ibadah mahdhah plus ibadah sosial)
Keempat, menepati janji (ini mencakup dimensi mu’amalah/ transaksional, dan merupakan aspek kepribadian/integritas)
Dan kelima, bersabar dalam berbagai keadaan, seperti dalam kesulitan dan kesukaran. (Ini adalah dimensi psikologis dan kepribadian).
Dengan demikian, ajaran takwa ini sungguh luhur, karena bukan hanya menyangkut urusan personal namun juga concern (sangat penuh perhatian) dengan urusan sosial.
Zakat yang lebih berorientasi ibadah sosial, kedudukannya begitu penting, sehingga ia disebutkan dalam Al-Qur’an bersama-sama dengan salat, menurut perhitungan ulama, sebanyak 88 (delapan puluh delapan) kali, yang menunjukkan begitu urgennya zakat.
Jadi, ibadah puasa dan zakat dimaksudkan agar kita mencapai predikat orang-orang yang bertakwa, yang dengan ketakwaan atau amal saleh itulah dimaksudkan agar kita mencapai kehidupan yang baik (hayâtan thayyibah), yakni keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (fid dunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah, rida lagi diridai Tuhan, râdhiyyatan mardhiyyah).
Dalam Al-Qur’an surat al-Dzâriyyât disebutkan mengenai balasan orang-orang yang bertakwa:
اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّعُيُوْنٍۙ (١٥) اٰخِذِيْنَ مَآ اٰتٰىهُمْ رَبُّهُمْ ۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا قَبْلَ ذٰلِكَ مُحْسِنِيْنَۗ (١٦) كَانُوْا قَلِيْلًا مِّنَ الَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ (١٧) وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ (١٨) وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ (١٩)
Artinya: (15) Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam (surga yang penuh) taman-taman dan mata air. (16) (Di surga) mereka dapat mengambil apa saja yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. (17) Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; (18) dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). (19) Pada harta benda mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta. (QS. al-Dzâriyyât [51]:15-19)
وَسَيُجَنَّبُهَا الْاَتْقَىۙ.
Artinya: “Akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Lail [92]: 17)
Dijelaskan pula dalam surat al-Nahl mengenai balasan orang yang berbuat kebajikan.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ.
Artinya: “Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. al-Nahl [16]: 97)
Jadi kesimpulannya: puasa dan zakat akan mengantarkan kita menjadi orang-orang yang bertakwa, yang mendapatkan kehidupan yang baik, fid dunyâ hasanah, wa fil âkhirati hasanah, kembali kepada fitrah dan kemenangan (minal ‘âidîn wal fâ’izîn). Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang bertakwa, minal ‘âidîn wal fâ’izîn. Amin.
Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.
Saat ini Dosen Tetap Program Pascasarjana Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Universitas PTIQ) Jakarta, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI) Masa Khidmat 2020-2025, Pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam Kota Tangerang.
*] Tulisan ini pertama kali dimuat di buku Panduan Kultum Ramadhan, Cet. ke-1, Maret (Jakarta: LTM PBNU, 2023), hlm. 185-190.