Oleh: Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.
Saat ini kita hidup di era keterbukaan informasi, media sosial (medsos), era serba instan mendapatkan beragam informasi. Era medsos, pada satu sisi banyak manfaatnya, tetapi di sisi lain banyak pula madarat atau bahayanya. Informasi dan berita yang begitu cepat dan massif, –yang kita peroleh melalui medsos,– jika ditelan begitu saja, tanpa pengetahuan utuh dan cermat serta kesadaran tentang kebenaran dan tidaknya dan dampaknya, justru sangat membahayakan kehidupan, merusak keharmonisan dan tatanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dampak negatif dari medsos, antara lain beragam ucapan buruk, ucapan keji, caci-maki, ujaran kebencian (hate speech), menyebarkan hoax (hoaks), fitnah, bahkan adu domba.
Di sinilah, –usai melalui bulan Rajab, dan bulan Sya’ban, serta sedang menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan,– kita perlu menghayati dan mengaktualisasikan substansi ajaran salat dan puasa dalam berbagai sendi kehidupan: kehidupan sehari-hari, kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat, kehidupan beragama, hingga kehidupan berpolitik dan bernegara. Mengapa kita harus mengaktualisasikan substansi ajaran salat dan puasa dalam berbagai sendi kehidupan? Jawabnya karena Allah SWT memerintahkan agar kita menjaga salat dan puasa itu dengan sebaik-baiknya.
Substansi Salat
Salat diperintahkan kepada kita agar dilakukan dalam setiap keadaan, baik di rumah, maupun di perjalanan, saat keadaan takut (tidak aman), seperti perang, atau keadaan aman (normal), dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Firman Allah SWT:
.حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ
Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wushṭâ. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah [2]: 238).
Lebih dari itu, karena hakikat salat bila dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dapat mencegah perbuatan keji (fahsyâ’) dan mungkar. Firman-Nya:
…. وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
…dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-‘Ankabût [29]: 45)
Atas dasar itulah, substansi ajaran salat wajib diaktualisasikan, diwujudkan dalam kehidupan nyata: kehidupan individu, kehidupan berumah tangga, bertetangga, bermasyarakat, bahkan berpolitik dan bernegara. Untuk itu pula, Allah SWT mengajarkan kepada kita agar memohon hidayah-Nya, sebagaimana doa Nabi Ibrahim a.s.:
.رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلٰوةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْۖ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاۤءِ
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan sebagian anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS. Ibrâhîm [14]: 40)
Substansi Puasa
Mengenai substansi ajaran puasa juga begitu nyata agar diterapkan dalam kehidupan. Sejak umat Islam masuk bulan Sya’ban, juga dianjurkan memperbanyak berpuasa Sya’ban, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW. Dalam hadis riwayat al-Nasâ’î disebutkan, teks matan dan sanad lengkapnya, sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ أَبُو الْغُصْنِ، – شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ – قَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْمَقْبُرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ أُسَامَةُ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: “قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ!، لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ مِنْ شَهْرٍ مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ. قَالَ: ذٰلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ اْلأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُّرْفَعَ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ.” (رَوَاهُ النَّسَائِيُّ)
“Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Alî, dari ‘Abd al-Rahmân, ia berkata: “Telah menyampaikan kepada kami Tsâbit bin Qais Abû al-Ghushn, –Syekh dari Ahli Madinah–, ia berkata: “Telah menyampaikan kepadaku Abû Sa‘îd al-Maqbûrî, ia berkata: “Telah mengkhabarkan kepadaku Usâmah bin Zaid r.a. ia berkata: “Aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau (memperbanyak) berpuasa pada suatu bulan pun sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban.” “Beliau bersabda: “(Sya’ban) itu adalah bulan di mana manusia melupakannya (tidak memperhatikannya), antara Rajab dan Ramadhan, padahal ia adalah bulan di mana diangkat dan dilaporkanlah semua amal perbuatan manusia kepada Tuhan semesta alam. Oleh karena itulah aku senang amalku akan dilaporkan ketika aku sedang berpuasa.” (HR. al-Nasâ’î dari Usâmah bin Zaid)
Hadis ini ditakhrîj (diriwayatkan) sendiri oleh Imam al-Nasâ’î (w. 303 H), di antara Ashhâb Kutub al-Sittah, dalam Kitâb al-Sunan al-Kubrâ, Kitab ke-5, Kitâb al-Shiyâm (Kitab Puasa), Bab ke-40: Shaum al-Nabiyy Shallâllâhu ‘alaihi wasallam bi-Abî Huwa wa-Ummî wa-Dzikru Ikhtilâf al-Nâqilîn fî Dzâlika, hadis nomor 2678, tahqîq Hasan ‘Abd al-Mun‘im Syalabî, cet. ke-1, (Beirut: Muassasat al-Risâlah, 2001), Juz III, hlm. 176-177, Kitab ke-22, Bab ke-70, hadis nomor 2356, dalam Sunan al-Nasa’î bi-Syarh al-Hâfizh Jalâl al-Dîn al-Suyûthî wa-Hâsyiyat al-Imâm al-Sindî, tahqîq Maktab Tahqîq al-Turâts al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), Juz II, hlm. 516. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, pada bagian Hadîts Usâmah bin Zaid Hubb-i Rasûlillâh Sallallâhu ‘alaihi wasallama, nomor 21753, Syu‘aib al-Arna’ûth, dkk., cet. ke-1, (Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1997), Juz XXXVI, hlm. 85-86.
Hadis tersebut menunjukkan kepada kita perihal kemuliaan bulan Sya’ban, tampak dari begitu perhatian Rasulullah SAW memuliakannya dengan memperbanyak berpuasa. Sya’ban yang letaknya di antara Rajab dan Ramadhan, justru banyak dilupakan atau tidak diberi perhatian. Padahal Sya’ban adalah bulan di mana semua amal perbuatan manusia diangkat dan dilaporkan kepada Tuhan semesta alam. Begitu menyenangkan bila saat amal kita diangkat dan dilaporkan ke hadirat-Nya, kita dalam keadaan berpuasa, melakukan amal saleh (kebaikan). Hadis itu pun menganjurkan untuk menghidupkan waktu-waktu, dengan berbagai ketaatan dan amal saleh, sungguhpun banyak orang tidak memperhatikannya.
Memuliakan Sya’ban dengan memperbanyak berpuasa tersebut, dan terutama berpuasa di bulan Ramadhan saat ini, yang bertujuan untuk meraih takwa (QS. al-Baqarah [2]: 183), tentu saja bukan semata-mata berpuasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, serta segala yang membatalkan puasa sejak fajar sadiq (subuh), sampai terbenamnya matahari (maghrib), tetapi betul-betul berusaha untuk mencapai susbtansi atau esensi puasa itu sendiri: meninggalkan perkataan keji (qaul al-zûr) dan kotor (maksiat). Substansi ajaran puasa ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِيْ إِيَاسٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِيْ ذِئْبٍ، حَدَّثَنَا سَعِيْدٌ الْمَقْبُرِيُّ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: “مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَّدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.” (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
“Telah menyampaikan kepada kami Âdam bin Abû Iyâs, telah menyampaikan kepada kami Ibnu Abî Dzi’b, telah menyampaikan kepada kami Sa ‘îd al-Maqburî, dari Bapaknya, dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan perbuatan kotor, maka tidak alasan bagi Allah untuk menerima puasanya, meninggalkan makan dan minumnya.” (HR al-Bukhârî, nomor 1903)
Hadis ini tersebut dalam Shahîh al-Bukhârî, nomor 1903, Kitab ke-30: Kitâb al-Shaum (Kitab Puasa), Bab ke-8: Bâb Man Lam Yada‘ Qaul al-Zûr-a wa-al-‘Amal-a bihi fî al-Shaum (Bab Orang yang Tidak Meninggalkan Perkataan Buruk [Dusta] dan Berlaku dengannya [Keburukan]). Kitab karya al-Bukhârî (194-256 H) ini berjudul lengkap al-Jâmi‘ al-Shahîh al-Musnad min Hadîts-i Rasûlillâh Shallallâhu ‘alaihi wasallama wa-Sunanihi wa-Ayyâmihi, tahqîq Muhib al-Dîn al-Khathîb, dkk., (Beirut: al-Mathba ‘ah al-Salafiyyah, 1400 H), Juz II, hlm. 31, dan dalam Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi-Syarh Shahîh al-Bukhârî, tahqîq ‘Abd al-‘Azîz bin ‘Abdullâh bin Bâz, dkk., (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), Juz IV, hlm. 116. Dalam teks hadis lainnya, ada tambahan “wa-al-jahla (dan bodoh)”: “man lam yada‘ qaula al-zûra wa-al-jahla wa-al-‘amala bihi….” (Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan keji (dusta), bodoh, dan berbuat dengannya (kebodohan). Makna hadis ini adalah kita dilarang berkata dusta atau kotor, berlaku bodoh dan bertindak atas dasar kebodohan. (Fath al-Bârî, Juz IV, hlm. 117).
Ibn Hajar al-‘Asqalânî (773-852 H) dalam Fath al-Bârî, mengutip perkataan al-Baidhâwî (w. 685 H), mengatakan:
وَقَالَ الْبَيْضَاوِيُّ : لَيْسَ الْمَقْصُوْدُ مِنْ شَرْعِيَّةِ الصَّوْمِ نَفْسَ الْجُوْعِ وَالْعَطَشِ، بَلْ مَا يَتْبَعُهُ مِنْ كَسْرِ الشَّهَوَاتِ وَتَطْوِيْعِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ، فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ ذَلِكَ لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِ نَظَرَ الْقَبُوْلِ
“Al-Baidhâwî berkata: “Maksud atau tujuan pensyariatan puasa bukanlah semata-mata lapar dan haus, melainkan apa yang dihadirkan oleh puasa itu sendiri, yaitu memecahkan syahwat-syahwat dan menundukkan (tathwî‘) al-nafs al-ammârah bi-al-sû’ (nafsu/emosi yang menyeru kepada keburukan) agar mengikuti al-nafs al-muthma’innah (nafsu/emosi yang membawa ketenangan).” (Fath al-Bârî, Juz IV, hlm. 117)
Berpuasa demikian ini merupakan cara untuk meraih keberkahan di bulan Sya’ban dan Ramadhan, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, bahwa sejak kita masuk bulan Rajab agar berdoa mohon keberkahan di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Doa dimaksud tersebut dalam riwayat Imam Ahmad, dengan matan dan sanad lengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْد اللهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ زَائِدَةَ بْنِ أَبِي الرُّقَادِ عَنْ زِيَادٍ النُّمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ: “اللّٰهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِيْ رَمَضَانَ”، وَكَانَ يَقُوْلُ: “لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَر
“Telah menyampaikan kepada kami ‘Abdullâh, Telah menyampaikan kepada kami ‘Ubaidullâh bin ‘Umar dari Zâ’idah bin Abî al-Ruqâd dari Ziyâd al-Numairî dari Anas bin Mâlik r.a., ia berkata: “Adalah Nabi SAW ketika masuk bulan Rajab beliau berdoa:
.اَللّٰهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِيْ رَمَضَانَ
“Wahai Allah, berikanlah kepada kami keberkahan di bulan Rajab dan bulan Sya’ban, dan berikanlah pula kepada kami keberkahan di bulan Ramadhan.”
Dan beliau bersabda: “Malam Jumat itu putih (terang benderang) dan siangnya bersinar terang.” (HR. Ahmad, nomor 2367)
Teks hadis ini tersebut dalam Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, nomor 2367, tahqîq Syu‘aib al-Arna’ûth dan ‘Âdil Mursyd, cet. ke-1, (Beirut: Musassat al-Risâlah, 1995), Juz IV, hlm. 180, dan dalam Hâsyiyat karya al-Sindî (w. 1138 H), tertulis nomor hadis kode 1401 (2346), nama lengkapnya Abû al-Hasan Nûr al-Dîn Muhammad bin ‘Abd al-Hâdî al-Sindî, berjudul Hâsyiyat Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, tahqîq Nûr al-Dîn Thâlib, cet. ke-1, (Dimasq: Dâr al-Nawâdir, 2008), Juz II, hlm. 445. Sungguhpun teks hadis riwayat Ahmad ini dinilai dhaif (lemah), tetapi selaras dengan teks-teks hadis yang tersebut dalam riwayat-riwayat kitab hadis lainnya, yaitu Ibn al-Sunnî dalam ‘Amal al-Yaum-i wa-al-Lailah (nomor 659), al-Baihaqî dalam Syu‘ab al-Îmân (hadis nomor 3534), dari jalan ‘Ubadillâh bin ‘Umar al-Qawârîrî, al-Bazzâr dalam Kasyf al-Atsâr (nomor 616 dan 961), dan Abû Na‘im al-Ashbahânî (330-430 H) dalam Hilyat al-Auliyâ’ wa-Thabaqât al-Ashfiyâ’, topik nomor 382, Ziyâd bin ‘Abdullâh al-Numairî, editor Sâmî Anwâr Jâhin, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2009), Jilid V, hlm. 187). Hadis-hadis ini dipandang lemah, sungguhpun demikian dalam konteks fadhâ’il al-a‘mâl (keutamaan-keutamaan amal) hadis dhaif dapat diamalkan, dengan syarat ridak sangat lemah, tidak bertentangan dengan dalil-dalil umum ataupun kaidah-kaidah kulliyyah (kaidah umum). Hal ini sejalan dengan pandangan Imam al-Nawawî, sebagaimana dikemukakan dalam kitabnya al-Adzkâr al-Nawawiyyah (Thaha Putera Semarang, t.t., h. 17), sebagaimana dikutip juga dalam buku penulis berjudul Fikih al-Fâtihah: Panduan Lengkap Memahami Induk Al-Qur’an, cet. ke-2, (Kota Tangerang: Pesantren Progresif Madania Salam, 2020), hlm. 31.
Imam al-Nawawî sendiri memasukkan hadis yang berisi doa mohon keberkahan di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadan ini di dalam kitabnya al-Adzkâr al-Nawawiyyah, pada Kitab ke-9: Kitâb Adzkâr al-Shiyâm (Kitab Dzikir-dzikir dalam Puasa), di Bab ke-2: Bâb Adzkâr al-Mustahabbah fî al-Shaum (Bab Dzikir-dzikir yang Dianjurkan –untuk Dibaca– dalam Puasa), nomor 549, berikut:
٥٤٩ – وروينا في حلية الأولياء بإسناد فيه ضعفٌ، عن زياد النميري، عن أنس رضي الله عنه، قال: كان رسول الله ﷺ إذا دخل رجب قال: ” اللَّهُمَّ بارِكْ لَنا في رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنا رَمَضَانَ “.ورويناه أيضاً في كتاب ابن السني بزيادة
(459) “Dan kami meriwayatkan dari kitab Hilyat al-Auliyâ’ dengan sanad yang di dalamnya lemah, dari Ziyâd al-Numairî, dari Anas r.a., ia berkata: “Adalah Nabi SAW ketika masuk bulan Rajab beliau berdoa: “Allâhumma bârik lanâ fî Rajaba wa-Sya‘bâna waballighnâ Ramadhâna”,, artinya: “Wahai Allah, berikanlah kepada kami keberkahan di bulan Rajab dan bulan Sya’ban, dan sampaikanlah kami di bulan Ramadhan.” “Dan kami juga meriwayatkan dari kitab karya Ibn al-Sunnî dengan (ada) tambahan.”
Dengan meningkatkan kualitas kebajikan di bulan Sya’ban, yang telah lalu, antara lain dengan memperbanyak berpuasa, dan tentu berpuasa di bulan Ramadhan saat ini, untuk meraih takwa, dalam arti menjalankan substansi puasa itu sendiri, yakni meninggalkan segala perbuatan yang keji dan kotor (maksiat, dosa), merupakan upaya untuk meraih keberkahan hidup, yakni bertambahnya kebaikan, kemanfaatan (ziyâdat al-khair fî al-asyyâ’), dan kemaslahatan bagi kita.
Benang Merah Substansi Ajaran Salat dan Puasa
Jadi jelas benang merahnya, dan inilah urgensinya: bahwa substansi atau inti ajaran salat dan puasa adalah untuk menjadikan diri kita pribadi yang baik, mencegah perkataan dan perbuatan keji dan kotor (fahsyâ’, al-zȗr), mencegah kezaliman terhadap diri sendiri, terlebih terhadap orang lain. Sungguhpun salat dan puasa yang rutin dilakukan, tetapi zalim terhadap orang lain, seperti menyebarkan hoaks, hatespeech (ujaran kebencian), tuduhan keji bahkan fitnah, jelas menjadikan dirinya sebagai orang yang bangkrut (muflis). Nabi SAW telah mengingatkan, tersebut dalam hadis riwayat Muslim dari Abû Hurairah r.a., dengan matan dan sanad lengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْمَعِيْلُ (وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ) عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: “أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ؛ فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِيْ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِيْ قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ. (رواه مسلم)
“Dari Abû Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Taukah kalian siapa itu orang yang muflis (bangkrut)?. Mereka (para sahabat) menjawab: ‘Orang yang bangkrut pada kami adalah orang yang tidak mempunyai dirham (uang) dan tidak pula mempunyai harta benda.’ Beliau bersabda: ‘Sungguh orang yang bangkrut dari umatku, dialah yang datang pada hari Kiamat dengan (bekal) salat, puasa dan zakat, (namun) sungguh ia datang (pula) dengan caci maki terhadap orang ini, dan menuduh perbuatan keji terhadap orang ini, memakan harta orang ini (secara batil) mengalirkan darah orang ini (tanpa hak), dan memukul orang ini (dengan yang tidak semestinya), lantas diberikanlah orang (yang dizalimi) ini dari kebaikan-kebaikannya, dan orang (yang juga dizalimi) ini dari kebaikan-kebaikannya, sehingga bila telah habis kebaikan-kebaikannya sebelum bebannya dilunasi, maka diambillah dari kesalahan-kesalahan mereka itu, lantas ditimpankanlah atasnya, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim, nomor 2581).
Hadis ini tersebut dalam Shahîh Muslim, Kitab ke-45, Kitâb al-Birr-i wa-al-Shilah wa-al-Âdâb, Bab ke-15, Bâb Tahrîm-i al-Zhulm (Bab Haram Berbuat Zalim), nomor 2581, dalam al-Nawawî, Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, tahqîq ‘Ishâm al-Shabâbithî, dkk., cet. ke-4, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001), Juz VIII, hlm. 377-378. Intinya orang berbuat zalim terhadap orang lain, sungguhpun salat, puasa dan zakat, ia akan disiksa di akhirat, sebab perbuatan zalimnya itu; siksanya itu disesuaikan dengan kezalimannya. Tegas Syaikhul Islam Imam al-Nawawî (631-673 H/1233-1277 M) dalam kitabnya Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, Juz VIII, hlm. 381. Wallâhu a‘lamu bi-al-shawwâb
Marilah kita aktualisasikan substansi ajaran salat dan puasa dalam sendi-sendi kehidupan. Semoga kita menjadi orang-orang yang mendapat hidayah-Nya, mampu mengaktualisasikan substansi ajaran salat dan puasa itu, membawa kebaikan, kedamaian, dan keberkahan bagi manusia dan lingkungan. Hadânallâhu wa-Iyyâkum ajma‘în, Amîn.
Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.
Cendekiawan NU, Dosen Tetap Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta, Pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam Kota Tangerang, Pengurus Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman (LPBKI) MUI Pusat
*)Tulisan ini pertama kali dimuat dalam Buletin Laduni, Edisi 03 2022, 20 Ramadhan 1443 H/22 April 2022 M, dengan judul “Aktualisasi Ajaran Salat dan Puasa dalam Sendi-sendi Kehidupan”, dan telah diedit (update) dan tambahan penjelasan disertai teks-teks Arab untuk kutipan ayat-ayat Al-Qur’an, dan teks-teks hadis lengkap dengan sanad dan referensi (literatur)nya.
———
[***) Pembaca yang Budiman, untuk berdonasi dalam rangka mendukung dan meningkatkan konten website ini, silahkan melalui nomor rekening BNI: 0393858685, a.n. Ahmad Ali, dan atas donasinya diucapkan terima kasih yang sebesar-sebarnya, wa-jazâkumullâhu ahsan al-jazâ’.]