Mengokohkan Prinsip Berjamaah Bagi Kemajuan Bangsa
Oleh: Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.
Ada satu prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang harus senantiasa direvitalisasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah Prinsip Berjamaah (al-Jamâ‘ah). Tetapi sayangnya, arti jamaah (berjamaah) masih banyak disalahpahami atau mengalami degradasi, dan implementasinya masih jauh panggang dari api. Banyak orang justru melakukan perbuatan maksiat dan dosa secara berjamaah (bersama-sama), bahkan secara kompak. Misalnya berjamaah melakukan korupsi, kolusi, suap menyuap (risywah), pencucian uang (money laundering), kejahatan narkoba, pembalakan liar (illegal logging), penjualan orang (human trafficking), pemerkosaan, perbuatan sadis, prostitusi dan perzinaan, dan mabuk-mabukan, termasuk berjamaah dalam caci-maki, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), penyebaran hoax dan fitnah. Wujud kongkritnya antara lain berjamaah untuk bersekongkol tidak menggunakan anggaran belanja negara atau daerah, membuat mark up (menaikkan biaya dari semestinya) ataupun memangkasnya dalam realisasi program-program rakyat yang semestinya wajib dilaksanakan maksimal, seperti pembangunan dan perbaikan jalan-jalan strategis.
Apa sejatinya makna jamaah (berjamaah)? Dalam kamus-kamus bahasa Arab disebutkan, secara bahasa kata jamâ‘ah (jamaah) berasal dari kata al-ijtimâ‘, berarti berkumpul, anonim (lawan) dari kata al-tafarruq (bercerai-berai). Kata jamaah secara bahasa dapat diartikan sebagai jumlah yang banyak (kumpulan) dari manusia, pohon, dan tumbuh-tumbuhan. Kata jamâ‘ah bermakna jam‘-un/al-jam‘, berarti nama bagi kelompok atau komunitas manusia atau dapat berarti al-mujtami‘ûn, yakni orang-orang yang berkumpul, bentuk jamaknya jumû‘ (kumpulan-kumpulan). Diartikan pula orang-orang yang berkumpul pada sesuatu, dan mengumpulkan atau menggabungkan sesuatu dari cerai-berai. Pengertian jamaah secara spesifik adalah suatu komunitas manusia yang dikumpulkan oleh satu tujuan (thâifah min al-nâs yajma‘uhâ ghardhun wâhid). Arti berkumpul (ijtimâ‘) itu bisa dalam pengertian hissiyyan (empiris, tampak), seperti kumpulnya manusia pada satu tempat, yakni ikatan yang bersifat ruang historis seperti ikatan kelompok –yang dibatasi tempat (ikatan nasionalisme); bisa juga dalam pengertian ma‘nawiyyan (substansi), seperti kumpulnya umat dalam keimanan kepada Allah dan rasul-Nya yang melampaui batas tempat bahkan waktu, yaitu ketersambungan umat yang tidak sezaman. Jadi, makna jamaah dapat diartikan sebagai kebersamaan dan kekompakan untuk suatu tujuan yang jelas.
Prinsip berjamaah ini jelas terkandung dalam bacaan wajib di setiap shalat, yaitu ayat Iyyâka na‘budu wa iyyâka nasta‘înu, bahwa “hanya kepadaMu (Allah) kami menyembah dan hanya kepadaMu jua kami memohon pertolongan”. Redaksi ayat “na‘budu” (kami menyembah/beribadah) dan “nasta‘înu” (kami memohon pertolongan) menggunakan bentuk subjek jama’ (kami), mutakallim ma‘al ghair (pembicara bukan hanya atas nama diri sendiri, tetapi bersama-sama), bukan “a‘budu” (saya menyembah/beribadah) dan bukan pula “asta‘înu” (saya memohon pertolongan). Ini menunjukkan bahwa kita beribadah melakukan kebajikan perlu kebersamaan dan kekompakan, karenanya diperintahkan shalat berjamaah, bahkan wajib dalam kondisi tertentu, dan kita memohon pertolongan dalam kebaikan secara bersama-sama pula. Jadi berjamaah adalah prinsip yang sangat fundamental dalam Islam, bagi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin (‘izz al-Islâm wa-al-Muslimîn).
Kandungan ayat dalam surat al-Fatihah tersebut meneguhkan dan mengutamakan kebersamaan (jamaah) dan kepentingan umum/publik (mashâlih al-‘ammâh), bukan kelompok tertentu secara ekstrem (fanatisme buta, al-ta‘ashhubbiyyah), terlebih lagi kepentingan individualistik dan egoistik (al-anâniyyah), sebab hal ini justru yang sering mengakibatkan perpecahan dan kemunduran umat dan bangsa. Rasulullah SAW bersabda tentang begitu pentingnya kebersamaan (jamaah) dan larangan bercerai-berai:
.عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ
Artinya: “Tetaplah kalian berjamaah, dan jauhilah bercera-beraian!” (HR. Ahmad dan al-Tirmîdzî, hadis nomor 2254)
Rasulullah SAW pun menegaskan:
.وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Artinya: “Berjamaah (kebersamaan dan kekompakan) itu adalah rahmat (kasih sayang), sebaliknya bercerai-berai itu adalah siksa.” (HR. Ahmad dari al-Nu‘mân bin Basyîr),
Hadis di atas bernilai hasan dan diperkuat oleh hadis lain:
.يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
Artinya: “Tangan Tuhan (yakni rahmat Tuhan) itu beserta jamaah” (HR al-Tirmidzî, hadis nomor 2256, dan al-Thabranî dari Ibn ‘Abbâs r.a.).
Dalam kitab Tuhfat al-Ahwadzî bi-Syarh Jâmi‘ al-Tirmîdzî karya Syekh al-Mubârakfûrî dijelaskan, hadis ini bermakna bahwa ketenteraman dan rahmat Allah itu dianugerahkan pada jamaah, yaitu komunitas atau masyarakat umat Islam yang kompak, mereka yang jauh dari rasa takut, dan dari sesuatu yang menyakitkan atau merugikan, serta dari huru-hara atau kegoncangan. Jika mereka bercerai-berai maka lenyaplah ketenteraman dan justru kesulitan menimpa mereka serta rusaklah kondisi kehidupan mereka (Tuhfat al-Ahwadzî…, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001, Jilid VI, hlm. 323).
Perintah berjamaah dan larangan bercerai-berai telah ditegaskan dalam firman Allah: “Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai….” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 103). Dengan demikian, berjamaah dalam kebajikan dan takwa akan mendapatkan pertolongan Tuhan. Dalam sejarah, banyak peperangan umat Islam meraih kemenangan, di antaranya Perang Badar, tahun ke-2 hijriah, berkat kebersamaan (kekuatan berjamaah), menang dengan pertolongan Allah (nashrun minallâh), meski jumlah pasukannya sangat jauh lebih kecil dibanding musuh. Juga kemerdekaan Indonesia tiada lain adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa kepada bangsa Indonesia atas perjuangan bersama (jihad) semua elemen bangsa meraih kemerdekaan dari penjajahan.
Prinsip berjamaah harus ditegaskan bahwa berjamaah dalam arti luas bekerja sama, tolong-menolong dan kekompakan, harus berlandaskan agama (hablullâh, QS. Âli ‘Imrân [3]: 103). Islam menegaskan bahwa berjamaah hanya boleh dilakukan dalam kebajikan dan takwa (ta‘âwun ‘alâ al-birr wa-al-taqwâ, QS. al-Mâ’idah [5]: 2)
Intinya, berjamaah (kebersamaan dan kekompakan) adalah kunci meraih kemenangan dan kemajuan bangsa. Oleh karena itu, prinsip berjamaah harus diperteguh dan diimplementasikan bagi kemajuan bangsa.
Berjamaah bisa dilakukan melalui penguatan fungsi masjid dan ormas keislaman, mengokohkan persaudaraan (ukhuwah), persatuan dan kesatuan umat, serta pemberdayaan kualitas dan ekonomi umat (keluarga maslahat). Dengan cara ini, diharapkan kaum Muslimin, sebagai mayoritas penduduk Nusantara, betul-betul dapat mensyukuri kemerdekaan, dan membawa kemajuan bagi agama, bangsa, dan negara Indonesia tercinta. Jadi, segala upaya meneguhkan prinsip berjamaah, menguatkan ukhuwah, persatuan dan kesatuan bangsa, tidak bercerai-berai, dan saling tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa haruslah selalu diperteguh dan diwujudkan semaksimal mungkin bagi kemajuan bangsa.*
Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.
Pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam Kota Tangerang Banten, Dosen Tetap Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta, Anggota Komisi Fatwa MUI Provinsi Banten, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman (LPBKI) MUI Pusat.
———
Tulisan ini pertama kali dimuat di Buletin Jumat Laduni.id, Edisi No. 66, 18 Agustus 2023.
———
Untuk mendukung dan memajukan konten dan kegiatan www.manhajuna.id/Yayasan Manhajuna Madania Salam ini, mohon silahkan salurkan donasi terbaik Saudara, donasi bisa melalui Rek. BNI: 0393858685, a.n. Sdr. Ahmad Ali atau Rek. BSI: 7002987508, a.n. Ahmad Ali.
Sebaiknya tandai dengan angka 9 di ujung nominal donasi, dan/atau tuliskan keterangan donasi Manhajuna.
Terima kasih, jazâkumullâhu khairan.